Saturn V dan Space Launch System (SLS) NASA adalah dua roket luar angkasa yang dikembangkan oleh NASA dengan tujuan untuk mengirimkan manusia dan muatan ke luar angkasa, tetapi dengan konteks yang berbeda. Saturn V adalah roket yang digunakan dalam program Apollo pada 1960-an dan 1970-an, sementara SLS adalah roket modern yang dikembangkan untuk mendukung misi eksplorasi luar angkasa jangka panjang, seperti misi ke Mars dan misi luar angkasa lainnya. Meskipun keduanya dirancang untuk mencapai tujuan yang serupa, teknologi, tujuan, dan tantangan yang dihadapi dalam pengembangannya memiliki perbedaan yang signifikan. Artikel ini akan membandingkan kedua roket tersebut dalam berbagai aspek.
1. Sejarah dan Tujuan Pengembangan
Saturn V dikembangkan pada 1960-an sebagai bagian dari Program Apollo untuk mengirimkan astronaut ke Bulan. Misi pertama yang sukses dilakukan dengan Saturn V adalah Apollo 4 pada 1967, dan roket ini digunakan dalam 13 peluncuran misi Apollo, termasuk pendaratan pertama di Bulan pada Apollo 11. Tujuan utama pengembangan Saturn V adalah untuk membawa manusia dan muatan ke Bulan, serta menyediakan kemampuan untuk misi luar angkasa lebih jauh.
Space Launch System (SLS), di sisi lain, adalah roket yang dikembangkan oleh NASA pada awal 2010-an untuk mendukung misi ke luar angkasa yang lebih jauh, termasuk Mars. SLS dirancang untuk menjadi roket yang lebih fleksibel dan lebih kuat dibandingkan roket-roket sebelumnya. Tujuan utamanya adalah untuk mendukung program Artemis NASA, yang bertujuan untuk membawa astronaut kembali ke Bulan dan melanjutkan eksplorasi lebih jauh ke Mars dan luar angkasa yang lebih dalam.
2. Kapasitas Angkut dan Kekuatan Pendorong
Saturn V adalah salah satu roket terbesar dan paling kuat yang pernah dibangun. Dengan ketinggian 110 meter dan kemampuan untuk membawa sekitar 140 ton muatan ke orbit rendah Bumi (LEO), Saturn V memiliki tiga tahap utama. Tahap pertama menggunakan lima mesin F-1, memberikan dorongan yang sangat besar untuk meluncurkan roket dari Bumi. Pada saat itu, Saturn V memiliki kapasitas terbesar dalam hal daya dorong dibandingkan dengan roket lain.
Space Launch System (SLS) dirancang untuk menjadi penerus Saturn V, dengan kapasitas angkut yang lebih besar dan lebih fleksibel. SLS dilengkapi dengan konfigurasi yang dapat disesuaikan, termasuk varian Block 1, Block 1B, dan Block 2. Varian Block 1, yang diharapkan akan digunakan untuk misi pertama Artemis, mampu membawa sekitar 95 ton ke LEO. Varian Block 2, yang akan diluncurkan pada misi-misi mendatang, dapat membawa lebih dari 130 ton ke LEO, menjadikannya setara dengan Saturn V dalam hal kapasitas angkut besar. Dengan dua inti utama dan empat mesin RS-25, SLS memiliki potensi untuk memberikan lebih banyak daya dorong daripada Saturn V dalam varian terbesar.
3. Desain dan Teknologi Mesin
Saturn V menggunakan lima mesin F-1 pada tahap pertama, yang saat itu merupakan mesin roket terbesar dan paling kuat yang pernah ada. Mesin F-1 ini sangat efisien dalam menghasilkan daya dorong, meskipun desain dan teknologinya kini sudah dianggap kuno. Tahap kedua menggunakan mesin J-2, sementara tahap ketiga dilengkapi dengan mesin J-2X yang lebih kecil dan lebih efisien.
SLS, di sisi lain, menggunakan teknologi mesin yang lebih modern. Mesin RS-25 yang digunakan pada tahap utama SLS adalah varian yang diperbarui dari mesin Space Shuttle yang pernah digunakan. Mesin ini lebih efisien dan dirancang untuk bertahan lebih lama. Selain itu, tahap kedua dari SLS menggunakan mesin RL10, yang juga dikenal karena efisiensinya dalam ruang angkasa. Penggunaan teknologi yang lebih baru pada SLS memungkinkan penggunaan lebih banyak bahan bakar yang lebih efisien, meskipun ada tantangan dalam mengembangkan dan mengintegrasikan teknologi baru ini.
4. Biaya dan Pengembangan
Saturn V meskipun sangat sukses dalam mengirimkan astronaut ke Bulan, juga sangat mahal untuk dibangun dan dioperasikan. Setiap peluncuran Saturn V memakan biaya sekitar $185 juta pada era 1960-an, yang setara dengan lebih dari $1.5 miliar dalam nilai mata uang modern. Biaya tinggi ini disebabkan oleh kompleksitas desain roket, serta pengembangan dan pengoperasian teknologi yang sangat baru pada waktu itu.
Space Launch System (SLS) juga menghadapi masalah biaya yang serupa, meskipun roket ini dirancang untuk lebih fleksibel dan dapat digunakan dalam berbagai misi. Biaya pembangunan SLS telah meningkat secara signifikan sejak dimulainya program, dengan total biaya pengembangan dan produksi diperkirakan mencapai lebih dari $20 miliar, dengan setiap peluncuran diperkirakan memakan biaya lebih dari $2 miliar. Hal ini membuat SLS menjadi salah satu roket yang sangat mahal, meskipun pengembangan teknologi dan fleksibilitasnya memberikan banyak potensi untuk misi masa depan.
5. Kemampuan Operasional dan Fleksibilitas
Saturn V dirancang khusus untuk misi ke Bulan dan tidak memiliki fleksibilitas untuk misi lain setelah program Apollo berakhir. Setelah misi terakhir Apollo pada 1972, Saturn V tidak lagi digunakan dan akhirnya dihentikan.
SLS, di sisi lain, dirancang untuk lebih fleksibel, dengan beberapa varian yang dapat digunakan untuk berbagai tujuan. Misalnya, SLS dapat digunakan untuk misi berawak ke Bulan, Mars, dan luar angkasa lebih dalam, serta untuk mengirimkan satelit dan peralatan robotik ke planet-planet lain. Dengan berbagai opsi konfigurasi, SLS memberikan lebih banyak fleksibilitas dalam perencanaan misi eksplorasi jangka panjang.
Kesimpulan
Meskipun Saturn V dan Space Launch System (SLS) memiliki beberapa kesamaan, seperti tujuan utama untuk eksplorasi luar angkasa dan kapasitas angkut yang besar, mereka dikembangkan dalam konteks yang berbeda dan dengan teknologi yang berbeda pula. Saturn V adalah simbol dari pencapaian teknologi luar angkasa pada era 1960-an dan 1970-an, sementara SLS adalah roket modern yang dirancang untuk mendukung misi luar angkasa jangka panjang, dengan kapasitas yang lebih besar dan fleksibilitas yang lebih tinggi. Keduanya penting dalam sejarah eksplorasi ruang angkasa dan masing-masing mewakili langkah besar dalam perjalanan manusia ke luar angkasa.